Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pola Pergerakan Ular di Perkotaan
Reptil adalah makhluk vertebrata
ektotermik yang memiliki kemampuan untuk mengatur suhu tubuhnya berdasarkan
suhu lingkungannya. Reptil tidak memiliki kemampuan untuk mengatur suhu
internal mereka, tidak seperti mamalia berdarah panas (Homoiothermic). Oleh
karena itu, mereka bergantung pada lingkungan sekitar untuk menjaga suhu tubuh
mereka. Reptil melakukan aktivitas berjemur sebagai cara untuk meningkatkan
suhu tubuh dan meningkatkan proses metabolisme. Sebaliknya, reptil biasanya
mencari daerah yang teduh atau perairan untuk menurunkan suhu tubuh mereka.
Kehadiran ular di tengah masyarakat
memiliki potensi bahaya, oleh karena itu sangat penting untuk memiliki
pengetahuan tentang berbagai jenis ular dan perilakunya agar masyarakat dapat
menerapkan langkah-langkah keamanan yang sesuai. Ular dapat menggigit karena
dua faktor utama: pemangsaan dan pertahanan diri. Gigitan ular dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori: gigitan berbisa dan tidak berbisa
(Sumedi, 2018).
Ular menunjukkan mobilitas yang lebih
tinggi di daerah yang memiliki vegetasi yang lebih lebat dan padat karena
tersedianya tempat persembunyian dan makanan yang lebih baik. Demikian juga,
keberadaan badan air seperti sungai atau danau dapat menjadi penarik yang kuat
bagi ular, karena ular sering membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya.
Selain itu, keberadaan habitat yang menawarkan tempat persembunyian, seperti
tumpukan batu atau reruntuhan bangunan, memainkan peran penting dalam membentuk
pola migrasi ular di perkotaan. Menurut Johnson et al., (2019), studi
tersebut menemukan bahwa kerapatan vegetasi, keberadaan air, dan ketersediaan
tempat persembunyian di habitat memiliki pengaruh penting terhadap pergerakan
ular di perkotaan. Sangat penting bagi setiap individu untuk secara konsisten
menjaga kebersihan di tempat tinggal dan sekitarnya. Selain itu, disarankan
untuk menghindari penumpukan barang yang cukup banyak, baik itu sampah, kardus,
maupun barang bekas, karena sering digunakan oleh ular sebagai tempat bersarang
(Parjoni, 2012).
Masyarakat terkadang gagal memahami perbedaan antara ular yang memiliki tingkat bisa yang tinggi, ular yang memiliki tingkat bisa yang sedang, dan ular yang tidak memiliki bisa sama sekali. Biasanya, orang hanya mempertimbangkan morfologi kepala ular untuk tujuan identifikasi. Seekor ular dianggap sangat berbisa jika kepalanya berbentuk segitiga. Pernyataan ini tidak sepenuhnya akurat karena tidak semua ular berbisa memiliki kepala berbentuk segitiga. Sebagai contoh, ular pucuk berhidung panjang (Ahaetulla nasuta) memang memiliki kepala berbentuk segitiga, tetapi tidak mematikan bagi manusia. Sebaliknya, ular yang sangat berbisa seperti Bungarus candidus (weling) dan Bungarus fasciatus (welang) memiliki kepala lonjong dan dapat berakibat fatal. Ular-ular yang sangat berbahaya memiliki satu set gigi yang terletak di bagian depan. Pengalaman dan pendidikan memiliki dampak tidak langsung terhadap tingkat pengetahuan seseorang. Dalam hal penanganan kasus gigitan hewan, penanganan yang efektif dimulai dengan mempertimbangkan konsekuensi dari gigitan berdasarkan jenis hewan yang terlibat, kondisi kesehatan hewan dan korban, serta ketersediaan layanan kesehatan (Agustina et al., 2019).
REFERENSI
Agustina, D. M., Fernando, Y., & Richi. 2019. Penyuluhan Penanganan Prahospital Pada Korban Gigitan Ular. Jurnal Suaka Insan Mengabdi, 1(2), 108–111.
Johnson, C. M., Smith, A. B., & Brown, L. E. 2019. Environmental factors influencing urban snake movement: A spatial analysis. Urban Ecology, 12(2), 215-230.
Marida, W., & Radhi, M. 2019. Perilaku Satwa Liar Pada Kelas Reptilia.
Parjoni. 2012. Tata Niaga, Parameter Demograf dan Karakteristik Habitat Ular Sendok Naja sputatrix (Boie. 1827) di Provinsi Jawa Timur. IPB University.
Sumedi, A. 2018. Peranan Plasmafaresis pada Keracunan Bisa Ular Tipe Neurotoksik (Studi Kasus di RSCM Jakarta). Jurnal Penelitian Keperawatan Medik, 1(1), 41–51.
Author
: Fuad Kamaludin