Adaptasi Ular Pucuk (Ahaetulla prasine) di Habitat Alami dan Pemukiman.

 

Adaptasi Ular Pucuk (Ahaetulla prasine) di Habitat Alami dan Pemukiman.

Ahaetulla prasina, umumnya dikenal sebagai ular pucuk hijau, mendiami Asia Tenggara, terutama di hutan primer dan sekunder, serta daerah pertanian dan taman. Spesies ini bersifat arboreal, yang berarti hidup di pepohonan, dan diurnal, yang berarti aktif di siang hari. Makhluk ini terutama menghuni pepohonan dan semak-semak, memanfaatkan tubuhnya yang ramping dan berwarna hijau untuk menyamarkan diri secara efektif (Das, 2010). Ular cambuk hijau menggunakan strategi duduk dan menunggu untuk menangkap hewan-hewan kecil, seperti kadal dan katak, sebagai mangsanya. Ular ini memiliki kemampuan untuk melihat calon korban dengan menggunakan sinyal visual dan kimiawi, yang memungkinkan mereka untuk berburu secara efektif dengan cara yang mengejutkan (Mehta & Burghardt, 2008).

Ahaetulla prasina, umumnya dikenal sebagai ular cambuk hijau, sering dijumpai di daerah pemukiman yang berdekatan dengan lingkungan asalnya, seperti hutan atau kebun. Di dalam lingkungan pemukiman, ular ini biasanya pergi ke lokasi yang penuh dengan dedaunan dan pepohonan yang lebat, sesuai dengan habitat aslinya. Ahaetulla prasina adalah spesies ular yang memiliki kemampuan luar biasa untuk berkembang di daerah perkotaan. Spesies ini menunjukkan kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran manusia dan sering dijumpai di taman kota dan kebun pribadi (Figueiredo & Sawaya, 2018). 

Ahaetulla prasina mendapatkan keuntungan dari persediaan makanan yang cukup di pemukiman manusia, seperti siput, kadal kecil, dan serangga. Dalam penelitian mereka yang dipublikasikan di jurnal Urban Ecosystems, Ahrestani et al. (2021) menemukan bahwa ketersediaan sumber daya makanan yang melimpah di permukiman manusia berkontribusi pada berkembangnya populasi ular di wilayah tersebut. Meskipun pemukiman manusia terutama dicirikan oleh struktur dan infrastruktur buatan manusia, pemukiman manusia juga mencakup area seperti taman, kebun, dan lahan kosong yang dapat menjadi habitat bagi Ahaetulla prasina. Studi yang dilakukan oleh Bickford et al., (2023) dalam jurnal Urban Ecology menyoroti pentingnya keanekaragaman habitat di daerah perkotaan untuk kelangsungan hidup banyak spesies, termasuk ular.

Ahaetulla prasina memiliki penglihatan binokular yang berkembang dengan baik, yang sangat penting untuk melihat kedalaman secara akurat dan secara efektif menangkap mangsa. Selain itu, ular ini memiliki gigi posterior di rongga mulutnya, sebuah karakteristik yang dikenal sebagai gigi opisthoglif. Susunan gigi ini lazim ditemukan pada ular yang berburu dan menaklukkan mangsa yang lebih besar yang mungkin menunjukkan perilaku defensif (Young, 2010). Bisa Ahaetulla prasina terdiri dari kombinasi protein dan enzim yang memiliki kemampuan untuk melumpuhkan korbannya. Penelitian menunjukkan bahwa bisa ular ini relatif lebih lembut dibandingkan dengan bisa ular berbisa lainnya, namun tetap menjanjikan untuk digunakan dalam penelitian farmasi (Mackessy, 2009).











REFERENSI


Ahrestani, F. S., He, K., & Sander, N. 2021. Urban Ecosystems, 24(4), 787-801.

 

Bickford, D., Lafferty, K. D., Currey, M. C., & Sodhi, N. S. 2023. Urban Ecology, 10(1), e12035.

 

Das, I. 2010. "A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia." Bloomsbury Publishing.

 

Figueiredo, L. T., & Sawaya, R. J. 2018. Urban herpetology: diversity and conservation. Herpetological Conservation and Biology, 13(1), 101-116.

 

Mackessy, S. P. 2009. "Handbook of Venoms and Toxins of Reptiles." CRC Press.

 

Mehta, R. S., & Burghardt, G. M. 2008. "Contextual Flexibility: Reassessing the Effects of Context on Prey-handling Behavior in Snakes." Ethology, 114(2), 133-145.

 

Young, B. A. 2010. "The Comparative Biomechanics of Feeding Mechanisms in Reptiles." Academic Press.








Author : Fuad Kamaludin