Zoonosis: Kucing Penular Penyakit Dipylidiasis
Kucing merupakan hewan yang banyak diminati sebagai hewan peliharaan yang hidup berdampingan dengan manusia. Banyaknya peminat kucing di seluruh dunia membuat populasinya meningkat ditambah dengan kemampuan berkembang biaknya yang tinggi. Populasi yang meningkat menyebabkan banyak kucing hidup secara liar di jalanan dan permukiman. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa menyentuh kucing liar di jalanan atau permukiman adalah hal yang wajar dan menganggap bahwa semua kucing yang berbulu bersih tidak menularkan penyakit. Tanpa disadari, kucing menjadi salah satu sumber penyakit bagi manusia karena dapat menularkan berbagai macam penyakit salah satunya adalah Dipylidiasis tidak terkecuali kucing yang hidup sebagai peliharaan di rumah-rumah.
Dipylidiasis merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit Dipylidium caninum, salah satu jenis cacing pita yang berasal dari classis Cestoda yang dapat menginfeksi usus kucing dan anjing. Menurut Cahyani et al. (2019), Dipylidium caninum digambarkan sebagai cacing pipih yang memiliki tubuh bersegmen dengan panjang total 17-70 cm dan bentuk kepala yang khas dan terdapat 4 sucker (penghisap). Penyakit Dipylidiasis dikategorikan sebagai zoonosis karena dapat ditularkan kepada manusia melalui hospes perantara berupa pinjal atau kutu anjing, atau ditularkan secara langsung tanpa perantara pinjal. Dalam hal ini, kucing dan anjing menjadi hospes definitif atau inang terakhir tempat dimana parasit mencapai kedewasaan seksual atau fase reproduksi. Pinjal dan kutu anjing adalah hospes intermediet dimana cacing pita ini menggunakan hewan tersebut sebagai tempat perkembangan selama fase aseksual. Dalam kasus ini, manusia dikategorikan kedalam inang definitif karena menjadi tempat berkembang cacing pita selama proses seksual (menghasilkan telur di setiap segmen tubuhnya).
Keterangan: (a) Proglotid (segmen) tubuh; (b) Scolex (kepala) dengan sucker (penghisap).
Sumber gambar: Indonesian Medical Labory
Mekanisme penularan cacing Dipylidium caninum ada dua cara. Mekanisme pertama dimulai dari matangnya segmen cacing ini yang disebut dengan proglotid gravid (satu segmen yang matang dan berisi banyak telur) yang keluar dari tubuh kucing melalui anus dan tidak sengaja tertelan melalui mulut manusia karena ukurannya kecil seperti butiran beras. Mekanisme kedua yaitu dengan perantara pinjal atau kutu anjing. Proglotid gravid yang matang dan berisi banyak telur tidak sengaja tertelan larva pinjal atau kutu dan membentuk oncosphere, setelah itu oncosphere berubah menjadi cysticercoid. Pinjal yang mengandung cysticercoid hidup menumpang di bulu kucing dan anjing, karena hal tersebut, pinjal yang terinfeksi ini dapat masuk ke dalam tubuh kucing atau anjing, bahkan lompat dan masuk ke dalam tubuh manusia. Tidak mencuci tangan setelah bermain kucing dan suka menempelkan bulu kucing ke wajah sangat meningkatkan resiko tertelannya proglotid gravid atau pinjal yang terinfeksi cacing pita ini. Untuk lebih jelasnya, mekanisme penularan cacing pita ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Sumber gambar: Centers for Disease Control and Preventation
Infeksi Dipylidiasis sudah banyak di laporkan di berbagai negara di dunia. Penyebaran Dipylidiasis di negara-negara Asia mayoritas ditularkan melalui anjing dan kucing, sedangkan di Eropa banyak disebarkan oleh pinjal, anjing, dan kucing. Penularan di negara-negara Afrika banyak ditularkan oleh kontaminasi tanah dan anjing. Di negara-negara Amerika penyakit ini sering ditularkan antar manusia, bahkan di Brazil infeksi Dipylidiasis ditularkan melalui makanan (Rousseau et al., 2022).
Keterangan: Distribusi Dipylidium caninum di seluruh dunia serta penularannya tahun 2000-2021
Sumber: Parasites and Vectors Journal
Menurut Putri et al. (2023), sudah banyak kasus Dipylidiasis pada kucing di Indonesia seperti meningkatnya jumlah pasien kucing di RVet Klinik Bogor dari tahun 2020 sampai 2021 saat musim hujan. Musim Hujan juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran Dipylidiasis karena lingkungan menjadi kotor sehingga sanitasi lingkungan menjadi buruk, tingginya kelembaban udara dan temperatur yang rendah, dan kondisi ini dibutuhkan untuk perkembangan stadium telur cacing. Kucing peliharaan cenderung beraktivitas di dalam ruangan saat musim hujan sengga telur cacing Dipylidium caninum dapat menempel di karpet, celah-celah lantai, bahkan di antara rambut inang definitif. Pinjal yang terinfeksi juga beresiko tinggi menularkan penyakit ini jika tidak sengaja melompat keluar dari tubuh kucing ke perabotan yang ada di rumah.
Selain untuk mengurangi gangguannya, pengendalian kucing liar di permukiman dapat menghilangkan rantai penularan Dipylidiasis dari kucing ke manusia. Berbeda dengan kucing peliharaan yang sering dimandikan dan dirawat, kucing liar banyak menyebarkan penyakit lain ke manusia seperti rabies, toxoplasmosis, dan pastinya Dipylidiasis. Tidak menutup kemungkinan jika kucing peliharaan juga dapat menularkan penyakit ke manusia jika tidak dirawat dengan baik seperti tidak pernah dibersihkan bulunya, tidak pernah diberi vitamin dan vaksin, serta tidak diberi makanan yang layak.
REFERENSI
Cahyani, A., P., Suartha, I., N. & Dharmawan, N., S. 2019. Laporan Kasus: Penanganan Dipylidiasis pada Kucing Anggora dengan Praziquantel. Jurnal Sains dan Teknologi Peternakan, 1(1), pp.20-24.
Putri D., P.,Tiuria, R., Arif, R., Winarto, A. & Akbari, R. 2023. Dipylidiosis pada Pasien Kucing di Klinik RVet Bogor. Jurnal Kajian Veteriner, 11(1), pp.54-61.
Rousseau, J., Castro, A., Novo, T. & Maia, C. 2022. Dipylidium caninum in the twenty-first century: epidemiological studies and reported cases in companion animals and humans. Parasites and Vectors Journal, 15(131), pp.1-13.